Minggu, 04 November 2012

SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT ISLAM










Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada abad ke-8 Masehi atau abad ke-2 Hijriah di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah-daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa Macedonia (336-323 SM), setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela (sebelah timur Tigris).
Alexander Agung datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah memunculkan pusat-pusat kebudayaan Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia.
Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu nampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena orang-orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan pusat.
Para Khalifah Abbasiyah pada mulanya hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani berikut dengan sistem pengobatannya. Tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al-Makun (198-218 H/813-833 M).
Penerjemahan Naskah Kelahiran ilmu filsafat Islam tidak terlepas dari adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban disebutkan bahwa usaha penerjemahan ini tidak hanya dilakukan terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani saja, tetapi juga naskah-naskah dari bebagai bahasa, seperti bahasa Siryani, Persia, dan India.
Sumber : yahoo.com
Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama tidak kurang dari satu setengah abad di zaman klasik Islam (abad ke-1 hingga abad ke-7 H). Dan berlangsung secara besar-besaran di Baghdad sejak masa pemerintahan Al-Mansur (137-159 H/754-775 M), serta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Makmun.
Bahkan di masa Harun Ar-Rasyid, utusan khusus dikirim ke Kerajaan Romawi untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Usaha ini telah menghasilkan tersedianya buku-buku berbahasa Arab dalam jumlah banyak di perpustakaan-perpustakaan, baik yang dibangun para penguasa Muslim maupun yang dibangun para hartawan.
Ketersediaan buku-buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan Muslim untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Majusi pada masa-masa sebelum munculnya Islam.
Kegiatan penerjemahan dalam perkembangan berikutnya, telah memunculkan tiga kelompok ahli ilmu pengetahuan. Pertama, mereka yang memusatkan perhatian pada cabang-cabang ilmu pengetahuan saja. Kelompok pertama ini disebut para ilmuwan.
Kedua, mereka yang selain mengkaji dan mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, juga memusatkan perhatian pada bidang filsafat. Kelompok kedua dinamakan para filsuf. Ketiga, yakni mereka yang berupaya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat untuk keperluan berteologi. Kelompok yang terakhir ini disebut para teolog.
Ilmu filsafat dalam Islam pertama kali muncul dan berkembang di wilayah-wilayah Islam belahan timur, terutama di Baghdad. Baru tiga abad kemudian, ilmu filsafat ini berkembang luas di dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba (Spanyol).
Keterlambatan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa buku-buku yang dihasilkan di dunia Islam belahan timur baru masuk secara besar-besaran ke dunia Islam belahan barat sejak paruh kedua abad ke-4 H, dengan dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Hakam II (350-366 H/937-953 M) di Andalusia.
Berkembangnya ilmu filsafat di dunia Islam ini pada akhirnya telah melahirkan sejumlah filsuf terkenal dari kalangan Muslim. Mereka antara lain Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd.
Dengan memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran Alquran dan hadits Nabi SAW, para filsuf Muslim membangun satu corak filsafat baru yang kini dikenal sebagai filsafat Islam. Dan karena dihasilkan dalam zaman klasik Islam, maka filsafat mereka sering disebut dengan filsafat klasik Islam.
Sumber : yahoo.com

Mualaf Steven: Bermula dari Filsafat Islam



Pria Tionghoa ini tak menyangka kebenciannya pada Muslim berbuah rengkuhan Islam. Di matanya kala itu, Muslim tak lebih dari sebuah golongan yang memberinya dan keluarganya sebuah pengalaman pahit.
Steven marah dan bertekad membalasnya. Ia mempelajari filsafat Islam, memahami seluk beluk agama itu, dan mendebat siapa pun yang berstatus Muslim. Hingga akhirnya, Steven menemukan kebenaran dari semua yang telah dipelajarinya.
Steven berislam 11 tahun lalu, saat usianya baru 19 tahun. Kebenaran Islam yang membawanya pada agama Allah, bukan kekaguman pada apa pun atau siapa pun. “Aku belajar (Islam), bukan terinspirasi apa pun,” katanya.
Bahkan, ia mengaku benci pada orang Islam kala itu. Kerusuhan 1998 dipandangnya sebagai wujud pencitraan wajah Muslim yang merupakan penduduk mayoritas Indonesia. “Itu pengalaman pahit bagi warga Tionghoa. Pada masa itu, aku kehilangan beberapa sanak keluarga yang tewas karena dibantai.”
Beberapa tahun sebelum krisis nasional itu, saat Steven duduk di bangku sekolah dasar, orang tuanya mengirimnya ke asrama Katolik atas wasiat almarhum neneknya. Beranjak remaja, ia mengikuti seminari untuk memperdalam ajaran Katolik. Di sana, filsafat Islam menjadi salah satu bidang ilmu yang didalami.
Pasca peristiwa 1998 yang traumatis itu, Steven mempertekun pendalamannya tentang Filsafat Islam untuk membayar kemarahannya. “Aku jelas tak mungkin membalas kekerasan itu dengan perang fisik, apalagi dengan membunuh. Karena itu, aku bertekad membalasnya dengan menghajar akidah mereka,” geramnya.
Begitulah, Steven belajar Islam untuk ‘membalas dendam.’ Berkat pendalamannya itu, ia selalu siap dan percaya diri untuk berdebat dengan setiap Muslim yang ditemuinya. “Satu lagi kelemahan Muslim kutemukan pada masa itu, saat sebagian besar mereka tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang agama mereka sendiri,” ujarnya prihatin.
Steven terus membekali diri. Ia terus belajar, hingga akhirnya tahu bahwa ajaran Islam benar. Kebencian pada Muslim yang pernah dirasakannya tak menghalangi hatinya untuk menerima kebenaran Islam.
“Semua yang diajarkan Islam benar. Melihat para Muslim yang berperangai tidak baik, aku melihatnya sebagai kesalahan yang bersumber dari diri mereka. Mereka tidak berperilaku sesuai ajaran Islam,” ujarnya.
sumber : yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar